Keragaman
budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat
ruang sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu
tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini
tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat
bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. di setiap penjuru
nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda.
Begitulah Indonesia.
Perjalanan
panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan
pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat
bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau
akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan
yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa.
Gerak hidup
Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam
lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan
pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di
antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai
melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah
Islam di Jawa. Dengan sampling masyaraskat Islam Mojokuto, Gertz
berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya,
santri, abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat
kritik, dalam beberapa hal saya pikir Gertz memang benar. Bukankah
studi antropologi memang tidak pernah menyatakan, adanya objektifitas
dalam hasil di peroleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah
intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang
mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan
kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam
Jawa merunut pada tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak
spiritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar
budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah
nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya
Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun
Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin
dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan
akhirnya menjadi sinergi.
Contoh menarik
adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah
Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplekmakam
Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat.
Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur.
Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan
Islam. Nuansa kedua unsur ini begitu kental, bercampur memunculkan satu
tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang dimilikinya.
Acara itu
sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam
Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian
tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan.
Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian
ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu yang menyelubungi
makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di
waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu
lambang penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu
dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk
ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para
warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang
baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk
mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya.
Ketika sampai
kembali di komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual
pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air
yang berasal dari tujuh mata air di sekitar komplek makam Pangeran
Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuhtong yang berbeda. Dan
secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu.
Acara diakhiri dengan doa yang bernafaskan Islam, di sinilah bentuk
akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam
diisi dengan doa-doa Hindu atau Budha, setelah Islam datang diganti
dengan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Islam, Al-Quran.
Menarik Bukan?
Ada nuansa kedamaian yang dapat dalam praktik ritual mereka, bahwa
dalam perbedaan ada titik-titik yang dapat disatukan. Satu hal yang
mungkin bisa diterapkan di bidang-bidang selain budaya. Membumikan
kedamaian di antara kita, yang kian hari kian terasa semakin luntur.
Puasa Dalam Budaya Jawa
Budaya yang berlaku dalam suatu bangsa-–yang mencakup paradigma, sikap, dan pola tindakan– merupakan cerminan nilai budaya bangsa tersebut. Budaya terus berkembang seiring dengan bergulirnya waktu, namun nilai budaya yang telah ada tidak akan hilang sama sekali pada masa selanjutnya. Nilai budaya itu akan menjadi unsur pembentuk, unsur yang mewarnai, mendasari, bahkan dapat mendominasi nilai-nilai budaya sesudahnya.
Menurut sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari 3 jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha, dan jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa telah mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka telah menjalani kehidupan dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang bertahan sampai sekarang.
Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik yang menyatakan kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder, 1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan dalam dua prinsip: rukun dan hormat.
Prinsip rukun menuntun agar bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik. Prinsip ini menurunkan sikap gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas. Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan membawa diri yang selalu menunjukkan hormat dengan orang lain. Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini adalah memiliki isin (rasa malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).
Bagi orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya. Ketika tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di atas, maka akan dikatakan durung njawa (belum jadi orang Jawa yang sebenarnya) (Mulder, 1983).
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan Sang Pemilik Kekuatan, yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi,tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ danagama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah),dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa.
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa hampir selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa dan pasa:
- pasa di bulan pasa (Ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan Ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut
- tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
- tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
- tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
- tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni)selama sehari-semalam
- tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
- tapa ngrame
siap berkorban/ menolong siapa saja dan kapan saja
- tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
- tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)
- tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air
- tapa nggantung
menggantung di pohon
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dan lainnya.
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa.
Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf, dalam arti, mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan nalar.
Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.
Menurut sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari 3 jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha, dan jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa telah mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka telah menjalani kehidupan dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang bertahan sampai sekarang.
Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik yang menyatakan kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder, 1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan dalam dua prinsip: rukun dan hormat.
Prinsip rukun menuntun agar bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik. Prinsip ini menurunkan sikap gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas. Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan membawa diri yang selalu menunjukkan hormat dengan orang lain. Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini adalah memiliki isin (rasa malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).
Bagi orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya. Ketika tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di atas, maka akan dikatakan durung njawa (belum jadi orang Jawa yang sebenarnya) (Mulder, 1983).
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan Sang Pemilik Kekuatan, yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi,tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ danagama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah),dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa.
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa hampir selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa dan pasa:
- pasa di bulan pasa (Ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan Ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut
- tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
- tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
- tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
- tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni)selama sehari-semalam
- tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
- tapa ngrame
siap berkorban/ menolong siapa saja dan kapan saja
- tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
- tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)
- tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air
- tapa nggantung
menggantung di pohon
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dan lainnya.
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa.
Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf, dalam arti, mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan nalar.
Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.
budaya masyarakat islam di jawa
Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa
Salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah keragaman budaya. Dari zaman kerajaan sampai dewasa ini, keragaman itu masih tetap “kokoh”, bahkan terus bertambah. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya, misal, budaya Islam Jawa.
Islam di Jawa terlalu banyak terkontaminasi unsur budaya. Bahkan, terlalu banyak yang mengamalkan budaya Jawa yang dianggapnya sebuah ajaran dalam Islam. Agama Islam yang disebarkan Nabi Muhammad adalah Islam sejati. Islam yang asli memancarkan budaya syar'i, yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi unsur budaya lokal. Budaya Arab jahiliyah yang menyembah berhala itu oleh Muhammad dinamakan musyrik, sedangkan agama Islam memperkenalkan agama tauhid yang hanya menyembah Tuhan, Allah.
Dalam pandangan Ahmad Noer (2008), Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meski hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu dibanding yang lain. Bahkan, Gertz seorang antropolog terkenal dunia, sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi.
Keunikan Islam Jawa, merunut pada tesis Gertz (dalam Ahmad Noer, 2008) adalah terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan, dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti.
Selain itu, pengaruh budaya Islam yang berasimilasi dengan budaya Jawa semakin mengukuhkan harmonitas sosial masyarakatnya. Karena Islam dengan pengayaan budayanya akan lebih diterima masyarakat, sehingga akan terbentuk suatu masyarakat yang memiliki jati diri muslim lewat lingkungan dan simbol-simbol edukatif-religius yang dimiliknya.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal Jawa, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum).
Hanya, tidak semua adat/tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esaan terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam kaidah fikih di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam.
Dengan demikian, kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga, misalnya, dalam melakukan Islamisasi di Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya. (Madjid, 1992:550)
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Islam lahir memang tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan keakhiratan, tapi mengatur secara menyeluruh semua aspek manusia. Karena itu, umat Islam dituntut untuk selalu berijtihad dan berinovasi demi kejayaan Islam di mana pun dan sampai kapan pun (hlm.11).
Buku ini mengupas-tuntas tentang etika, kebijaksanaan hidup, dan tradisi masyarakat Jawa dalam perspektif tasawuf. Dilengkapi contoh nyata dari budaya Jawa tentang agama dan ritual seblang, yang merupakan hasil penelitian penulis di komunitas Jawa Osing (Banyuwangi, Jawa Timur) membuat buku ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hadirnya buku ini akan membuka “kran” pengetahuan pembaca untuk dapat menjalani hidup secara arif nan bijaksana
Salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah keragaman budaya. Dari zaman kerajaan sampai dewasa ini, keragaman itu masih tetap “kokoh”, bahkan terus bertambah. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya, misal, budaya Islam Jawa.
Islam di Jawa terlalu banyak terkontaminasi unsur budaya. Bahkan, terlalu banyak yang mengamalkan budaya Jawa yang dianggapnya sebuah ajaran dalam Islam. Agama Islam yang disebarkan Nabi Muhammad adalah Islam sejati. Islam yang asli memancarkan budaya syar'i, yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi unsur budaya lokal. Budaya Arab jahiliyah yang menyembah berhala itu oleh Muhammad dinamakan musyrik, sedangkan agama Islam memperkenalkan agama tauhid yang hanya menyembah Tuhan, Allah.
Dalam pandangan Ahmad Noer (2008), Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meski hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu dibanding yang lain. Bahkan, Gertz seorang antropolog terkenal dunia, sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi.
Keunikan Islam Jawa, merunut pada tesis Gertz (dalam Ahmad Noer, 2008) adalah terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan, dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti.
Selain itu, pengaruh budaya Islam yang berasimilasi dengan budaya Jawa semakin mengukuhkan harmonitas sosial masyarakatnya. Karena Islam dengan pengayaan budayanya akan lebih diterima masyarakat, sehingga akan terbentuk suatu masyarakat yang memiliki jati diri muslim lewat lingkungan dan simbol-simbol edukatif-religius yang dimiliknya.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal Jawa, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum).
Hanya, tidak semua adat/tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esaan terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam kaidah fikih di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam.
Dengan demikian, kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga, misalnya, dalam melakukan Islamisasi di Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya. (Madjid, 1992:550)
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Islam lahir memang tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan keakhiratan, tapi mengatur secara menyeluruh semua aspek manusia. Karena itu, umat Islam dituntut untuk selalu berijtihad dan berinovasi demi kejayaan Islam di mana pun dan sampai kapan pun (hlm.11).
Buku ini mengupas-tuntas tentang etika, kebijaksanaan hidup, dan tradisi masyarakat Jawa dalam perspektif tasawuf. Dilengkapi contoh nyata dari budaya Jawa tentang agama dan ritual seblang, yang merupakan hasil penelitian penulis di komunitas Jawa Osing (Banyuwangi, Jawa Timur) membuat buku ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hadirnya buku ini akan membuka “kran” pengetahuan pembaca untuk dapat menjalani hidup secara arif nan bijaksana
Sumber: http://artikel2-budayajawa.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar